Wednesday 25 September 2013

Prasasti Lubuk Layang, Pasaman

Prasasti Lubuk Layang, Pasaman
Oleh: Dodi Chandra



Prasasti Lubuk Layang terletak di Jorong Simpang IV, Desa Kubu Sutan, Kecamatan Rao Selatan, Nagari Lubuk Layang, Kabupaten Pasaman pada koordinat 00° 31’ 277’’ LU dan 100° 03’ 768’’ BT. Lokasinya terletak sekitar 25 m di sisi tenggara jalan yang menghubungkan Dusun Kubu Sutan dengan Kecamatan Rao. Prasasti  tersebut terletak di tengah-tengah areal pemakaman umum, berbatasan dengan pemukiman penduduk di sebelah timur dan barat serta aliran Sungai Tingkarang di sebelah selatan. 

Foto: Lokasi Prasasti Lubuk Layang (Koleksi Pribadi: 2013)

Prasasti ini ditulis pada sebuah lempengan batuan sandstone yang kondisinya saat ini dalam posisi miring karena sebagian terbenam dalam tanah. Ukuran lempengan prasasti yang tampak di permukaan adalah panjang 85 cm, sedangkan sisi lainnya dalam kondisi terbenam dan menyisakan permukaan batu sepanjang 43 cm. Lebar batu adalah 42 cm dan tebal 16 cm. Di bagian atas batu prasasti tersebut saat ini pecah. Pertulisan terdapat di dua sisi. Sisi depan terdiri dari 9 baris, dan beberapa pertulisan di bagian atas hilang. Di sisi belakang terdapat 7 baris tulisan (Oetomo, RW. 2009:  102). Kondisi pertulisan secara umum telah aus mengingat bahan yang digunakan cenderung rapuh sehingga menyulitkan upaya pembacaan.

Foto: Prasasti Lubuk Layang tampak depan (Koleksi Pribadi: 2013)

Foto: Prasasti Lbuk Layang tampak belakang (Koleksi Pribadi: 2013) 

Buchari dan Satyawati Sulaiman sependapat bahwa terdapat 2 jenis tulisan pada prasasti Lubuk Layang atau disebut juga dengan Prasasti Kubu Sutan. Kedua tulisan tersebut agak berbeda dengan pertulisan yang biasa dipakai Adityawarman namun pertulisan tersebut sangat jauh berbeda dengan pertulisan yang umum dipakai rajaraja Sriwijaya. Pertulisan tersebut lebih mirip dengan pertulisan yang dipakai di Kamboja. Kemungkinan pertulisan tersebut berkaitan dengan Adityawarman, mengingat kebiasaannya menggunakan huruf dan bahasa yang berbeda. Keletakan prasasti Kubu Sutan berada di antara dua pusat kebudayaan besar, yaitu Pagaruyung dan Padang Lawas, tentu saja keduanya membawa pengaruh yang cukup kuat (Oetomo, RW. 2009:  113). Hal yang sama juga diketahui dari temuan prasasti yang terdapat daerah aliran Sungai Ganggo Hilia. Prasasti ini menggunakan setidaknya dua junis huruf dan bahasa yang berbeda, salah satunya adalah penggunaan Bahasa Jawa. Adapun isi dari pertulisan prasasti tersebut adalah pengumuman mengenai penggunaan mata air, yang boleh dipakai oleh siapa saja, bahkan untuk ternak (Setianingsih, 2006: 74-75). Tidak diketahui siapa yang menulis prasasti tersebut dan untuk tujuan apa sehingga perlu dituliskan dengan huruf dan bahasa yang berbeda? Hal ini menunjukkan bahwa di daerah tersebut terdapat dua kelompok yang menggunakan dua bahasa yang berbeda. 

Sumber:
1. Setianingsih, Rita Margaretha. 2005. “Prasasti Ganggo Hilia: Temuan Baru dari Sumatera
Barat”, dalam Berita Arkeologi Sangkhakala, No. 16, hlm. 65–78. Medan: Balai
Arkeologi Medan. 
2. Oetomo, R.W. 2009. Penelitian Arkeologi di Eks Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat. Medan: Balai Arkeologi Medan

Meriam Bonjol, Pasaman

Meriam Bonjol, Pasaman 
Oleh: Dodi Chandra, Arkeologi UI


Terletak lebih kurang 150 m dari jalan Pasar Ganggo Hilir, Bonjol. Lokasi meriam berdekatan dengan dengan pasar Bonjol yang pada masa perang Paderi dijadikan sebagai benteng pertahanan. Kondisi meriam saat ini sebagian terkubur dalam tanah. Yang tampak di permukaan adalah bagian moncongnya serta beberapa buah proyektil. 

Foto: Lokasi Meriam Bonjol (Koleksi Pribadi: 2013)
Lubang meriam berdiameter 11 cm. Menurut informasi dari Bapak Ali Usman yang merupakan informan Imam Bonjol di daerah Bonjol mengatakan bahwa dalam keadaan utuh meriam tersebut memiliki ukuran panjang antara 1 – 1,5 m, dilengkapi roda. Proyektil berjumlah 14 buah berdiameter 9 cm, 10 cm, 13 cm, dan 14 cm. tiga buah proyektil yang berukuran 13 cm dan sebuah yang berukuran 14 cm bukan merupakan proyektil dari meriam tersebut. Pada proyektil ini terdapat lubang tempat mengisi mesiu yang akan meledak bila membentur sasaran. Proyektil ini memiliki pelontar khusus yang berukuran lebih besar.  

Foto: Meriam dan Proyektil (Koleksi Pribadi: 2013)

Foto: Meriam (Koleksi Pribadi)

Selain meriam terdapat kayu yang dipergunakan untuk mencampur mesiu. Menurut informasi meriam tersebut dipindahkan dari Benteng Bukit Takjadi. Dari pertulisan yang tercantum pada meriam diketahui bahwa meria tersebut berasal dari Portugis dan dibuat sekitar tahun 1700-an (Oetomo, R.W. 2009: 107)


Foto: Lobang proyektil (Koleksi pribadi: 2013)


Sumber:
  1. Oetomo, R.W. 2009. Penelitian Arkeologi di Eks Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat. Medan: Balai Arkeologi Medan.
  2. Hasil Wawancara dengan Ali Usman (Informan Imam Bonjol) 28 Januari 2013.

Tuesday 24 September 2013

Candi Tanjung Medan, Pasaman


Candi Tanjung Medan, Pasaman
Oleh: Dodi Chandra


Situs Candi Tanjung Medan secara administratif berada di Jorong Petok, Kecamatan Panti, Kenagarian Panti, Kabupaten Pasaman, berjarak sekitar 200 m dari jalan provinsi yang menghubungkan Provinsi Sumatera Utara dengan Sumatera Barat. Secara astronomis situs ini berada pada titik 00ยบ 17’ 507’’ LU dan 100° 06’ 099’’ BT. Lokasi kompleks Candi Tanjung Medan berada tidak jauh dari kanal irigasi Panti – Rao selebar 4 m yang memotong sebagian areal situs. Kawasan Candi Tanjung Medan dialiri dua buah sungai yaitu Batang Pauh Gadis dan Batang Sumpur.
Masyarakat menyebut Candi Tanjung Medan sebagai Candi Puti Sangkar Bulan, tokoh yang oleh masyarakat dimitoskan karena kesaktiannya. Konon tokoh tersebut yang dimakamkan tidak jauh dari kompleks percandian tersebut. Keberadaan percandian tersebut telah dilaporkan sebelumnya oleh Gubernur Pantai Barat Sumatera (Gouverneur van Sumatra’s Westkust) pada tahun 1865 kepada Direktur Bataviaasch Genootschap di Jakarta. Dalam laporannya disebutkan bahwa bangunan percandian tersebut bentuknya menyerupai menara yang dikelilingi empat teras dan memiliki dua kamar (OV, 1912:36). Analisis terhadap inskripsi pendek berupa delapan buah kelopak bunga emas yang dilakukan Bosch pada tahun 1950 terbaca pertulisan: hum (om) Aksobya.. phat, hum (om) Amoghasiddi..phat dan hum (om) Ratnasambhava..phat diketahui bahwa bangunan candi tersebut memiliki sifat keagamaan berupa Buddha Mahayana. Nama-nama Dewa, Amogasiddi dan Ratnasambhava merupakan perwujudan Dyanibuddha yang menguasai arah timur dan barat, sedangkan Aksobya merupakan simbol merupakan dewa yang diutamakan. Diperkirakan pertulisan ini berasal dari abad 12 Masehi (OV, 1950 dan Schnitger,1937:14).
Sejarah penemuan candi berkaitan dengan pembangunan saluran irigasi untuk mengairi areal persawahan. Dalam penggalian pembuatan saluran irigasi ini secara tak sengaja ditemukan potongan-potongan bata dan bata berstruktur yang ternyata bagian dari candi. Atas desakan warga sebagai langkah penyelamatan situs maka lintasan saluran irigasi dibelokkan agak jauh dari pembangunan candi. Kompleks Candi Tanjung Medan terdiri dari beberapa unit bangunan yang meliputi bangunan candi I sampai dengan VI. Adapun bangunan candi V dan VI kondisinya masih berada dalam tanah, ditandai dengan keberadaan gundukan dan serakan bata di permukaan tanahnya. Candi I dan II telah dipugar oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Batusangkar (kini BPCB Batusangkar). Bagian depan kedua bangunan ini posisinya saling berhadapan. Bangunan yang tersisa dan berhasil dipugar saat ini hanya sebatas bagian dasar candi.


Foto: Kompleks Candi Tanjung Medan (Koleksi Pribadi: 2013)


Candi I berbentuk persegiempat dengan anak tangga di sisi timur dengan konstruksi tangga menjorok. Di bagian atas tidak ditemukan kelanjutan sehingga susunan batanya dibuat mendatar. Di sisi utara, selatan dan barat bangunan tersebut terdapat tumpukan bata yang tertata dalam posisi rebah, yang merupakan runtuhan dari bagian tubuh candi. 

Foto: Candi I (Koleksi Pribadi: 2013

Candi II merupakan perwara dari candi I. Dalam proses pemugaran, berhasil ditampakkan bagian dasar dan sebagian badan candi. Bangunan ini berukuran 9 m x 9 m. di sisi barat dan timur terdapat tangga berukuran sekitar 2 m dengan sejumlah anak tangga berukuran kecil, kemungkinan tidak berfungsi untuk menaiki bangunan tersebut. Tiap bagian candi tersusun dari beberapa buah bata yang membentuk dan kesan estetis pada bangunan candi, demikian pula dengan tiap sisinya yang berbentuk lengkung ataupun yang dipahatkan miring

Foto: Candi I (Koleksi Pribadi: 2013)


Candi III dan IV berukuran lebih kecil dibandingkan kedua bangunan di atas dan telah mengalami pemugaran serta dibuatkan cungkup pelindung. Yang tersisa saat ini adalah dasar dan sebagian badan bangunan. Candi III berukuran 8,8 m x 8,8 m. seperti, candi I, II, dan III, bagian dasar candi IV juga lebih rendah dari permukaan tanah sehingga untuk menampilkan bagian tersebut harus digali dengan kedalaman hingga mencapai 1 m. bahan penyusunnya adalah bata yang terdiri dari beberapa lapis. Di beberapa bangunan susunannya hanya satu lapis. Bagian atas bangunan tidak diketahui bentuknya. Pada bagian tengah candi terdapat isian tanah. Di bagian atas dijumpai 5 buah batu andesit. Pada batu-batu tersebut tidak tampak adanya pengerjaan. Empat buah batu diletakkan pada setiap sudut bangunan, dan sebuah lagi terletak di tengah. Di depan bangunan candi terdapat sebuah batu yang telah mengalami pengerjaan. Bagian dasar berbentuk persegiempat berukuran tinggi 70 cm, lebar 50 cm, sedangkan bagian atasnya bulat berukuran 20 cm. 

Foto: Candi III (Koleksi Pribadi: 2013)

Foto: Tangga Candi III (Koleksi Pribadi: 2013)


Bangunan candi IV dilindungi oleh cungkup. Bentuk bangunannya hampir sama, struktur bata polos berundak membentuk bagian dasar dan sebagian badan bangunan. Di bagian atas terdapat isian yang menggunakan bahan yang sama dengan candi III yaitu tanah. Bangunan ini dilengkapi dengan tangga di sisi timur

Foto: Candi V (Koleksi Pribadi: 2013)

Beberapa temuan lepas disimpan di gudang penyimpanan, terdiri dari enam buah fragmen batu yang telah mengalami pengerjaan. Batu-batu tersebut mengalami pengerjaan namun tidak diketahui secara pasti fungsinya. Fragmen-fragmen batu tersebut antara lain berupa puncak bangunan atau lingga-yoni (?), lumpang batu, serta beberapa pecahan keramik. Temuan batu andesit yang pertama lebih menyerupai batu
penggilasan, diketahui dari bagian tengahnya yang cekung. Bagian tepi atas datar sedangkan tengahnya cekung. Fragmen batu kedua tidak diketahui fungsinya, kemungkinan merupakan bagian sudut dengan pahatan miring. Fragmen batu ketiga merupakan batu granit yang tidak diketahui fungsinya. Batu-batu tersebut ditemukan dalam areal percandian, berasosiasi dengan bangunan-bangunan candi. Temuan lain berupa nisan atau kemuncak bangunan beserta lapiknya. Lapik berbentuk persegiempat terdiri dari dua tingkat dengan bagian atas mengecil. Di bagian tengah terdapat lubang persegiempat tempat meletakkan nisan yang berbentuk gada dengan bagian bawah hiasan berbentuk bulat, sedangkan bagian atasnya berbentuk persegi delapan dan semakin ke atas semakin mengecil. Fragmen batu lainnya berbentuk menyerupai gada persegi delapan, bagian bawah hilang. Adapun temuan lainnya berupa lumpang batu. Bentuknya tidak beraturan, dan di bagian tengah terdapat lubang bekas pengerjaan. Beberapa temuan lain adalah fragmen keramik berwarna hijau dan krem. Keramik Cina dengan dasar warna hijau memiliki pola hias bermotif sulur, sedangkan keramik dengan dasar warna krem berglasir pecah seribu, keduanya diperkirakan berasal dari abad 13 – 14 M.
Berdasarkan hasil pemugaran yang dilakukan oleh BP3 Batusangkar diketahui bahwa di kompleks percandian Tanjung Medan setidaknya terdapat enam buah bangunan berbahan bata. Berdasarkan keletakan tangga bangunannya diperkirakan bangunan candi ini memiliki persamaan dengan candi di situs Muara Jambi (abad IX – XII Masehi), yaitu memiliki pola keletakan tangga yang linier (Atmojo,1999).

Sumber: Oetomo, R.W. Penelitian Arkeologi di Eks Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat. Medan: Balai Arkeologi Medan.

Peninggalan Kerajaan Siguntur (abad 17)




1. Rumah Gadang Siguntur. Istana ini dibanguna sekitar abad ke-17, selama Islam berkembang di daerah Siguntur. Rumah Gadang Siguntur ini memiliki 5 gonjong dan satu rangkiang di bagian depan Istana. Atap rumah gadang ini terbuat dari seng, namun menurut Aciak Sarinah ( keturunan ke-9 raja Siguntur) sebelum dipugar rumah gadang ini beratap ijuk. Di bagian depan rumah gadang terdapat tinggalan praIslam yaitu satu menhir " mejan" dan bagian kaki dari arca. Pada awalnya Rumah Gadang Siguntur ini memiliki ukiran, namun setelah dilakukannya pemugaran oleh BPCB Batusangkar ukirannya menjadi hilang (wawancara dengan Aciak Sarinah, Ahli waris dan keturunan ke-9 raja Siguntur)




Foto: Rumah Gadang Siguntur
Sumber: Koleks pribadi: 2013


2. Makam raja Siguntur. situs ini merupakan lokasi pemakaman yang diperuntukan untuk para keturunan dan ahli waris raja-raja Siguntur. Lokasi pemakaman ini berada di samping Mesjid Tua Siguntur. Situs makam ini tampak tidak diurus, rerumputuan dan ilalang tumbuh liar dan menutupi makam. Dari sekian banyak makam yang ada di situs ini, hanya 6 buah makam yang teridentifikasi sebagai makam raja.

Foto: Makam Raja Siguntur
Sumber: Koleksi pribadi: 2013

 3. Mesjid Tua Siguntur. Mesjid Tua Siguntur adalah mesjid yang sudah berumur lebih dari 100 tahun. Mesjid ini berada di sebelah makam raja Siguntur. Atap dari mesjid ini terbuat dari seng dengan bentuk atap tumpang 3. Di bagian dalam mesjid terlihat mesjid 12 tiang yang terbuat dari kayu. Bagian mihrab mesjid berbentuk setengah lingkaran dengan tembok tebal dan ornamen bunga.Pada awalnya lantai mesjid ini terbuat dari kayu, namun karena mudah lapuk diganti dengan lantai tembok.
Foto: Mesjid Tua Siguntur
Sumber: Koleksi Pribadi: 2013

Foto: Mihrab Mesjid Tua Siguntur
Sumber: Koleksi Pribadi: 2013

Foto: Tiang penyangga mesjid
Sumber: Koleksi pribadi: 2013

Monday 23 September 2013

Mata Uang Cina (Kepeng) Majapahit

MATA UANG CINA (KEPENG)
REKONSTRUKSI SEJARAH EKONOMI MAJAPAHIT
Oleh: Dodi Chandra, Arkeologi UI



Arkeologi adalah ilmu menjadikan benda budaya atau material culture sebagai kajian utamanya. Mengutip pendapat Binford, arkeologi berawal dari benda budaya, kemudian dari bendalah arkeolog mampu merekonstruksi sejarah kebudayaan, menyusun kembali cara-cara hidup masyarakat masa lalu, serta memahami proses perubahan budaya. Karena benda sebagai fokus kajiannya, maka arkeologi itu ada karena adanya benda itu sendiri. Budaya meteri lahir dari sebuah tingkah laku yang dibuat oleh pemangku budayanya, maka arkeologi sebenarnya bicara tentang manusia yang berada dibalik benda.
 Salah satu dari kajian arkeologi adalah mata uang. Dalam kajian mata uang ini, arkeologi mengambil pendekatan dari Numismatik [1]. Dalam penelitian arkeologi, studi mengenai numismatik khususnya mata uang logam memegang peranan yang penting karena dengan adanya hiasan-hiasan atau tulisan yang tertera pada ke dua sisinya. Mata uang logam dikenal juga sebagai benda tunggal yang dapat berdiri sendiri dan bersifat spesifik karena dapat memberikan informasi mengenai dimensi waktu, dimensi tempat asal pembuatan dan tempat penemuan, dan dimensi bentuk yang terdiri dari atribut bentuk, ukuran, gaya, dan teknologi dari mata uang logam pada masa itu. Sebenarnya, secara konstektual informasi waktu yang diperoleh dari temuan mata uang logam bermamfaat bagi pertarikhan (dating) termuan serta hubungan antar temuan, situs atau bagian-bagian situs secara kronologi horizontal  yang dapat menjelaskan arah perluasan kota, dan pertarikhan lapisan budayanya atas dasar stratigrafi atau vertikal kronologi.
Keberadaan uang tidak terlepas dari dari kegiatan perdagangan. Dalam sejarah kepurbakalaan Indonesia, perdagangan yang pertama kali dilakukan oleh manusia adalah dalam bentuk perdagangan barter. Perdagangan barter merupakan bentuk perdagangan tukar menukar barang. Dalam perkembangannya, perdagangan berter memiliki kendalam yaitu pertukaran barang hanya akan terjadi apabila kedua belah pihak memiliki barang yang sama-sama mereka inginkan dan juga kesulitan dalam memberikan nilai harga pada suatu barang.
       Kesulitan-kesulitan di atas, kemudian ditanggulangi oleh  manusia dengan cara membuat suatu alat perantara dalam kegiatan tukar menukar, yang kemudian memunculkan apa yang kita sebut dengan uang [2]. Uang diciptakan sebagai alat untuk mempermudah terjadinya transaksi jual beli. Sebagai satuan dalam perdagangan, uang harus memenuhi syarat-syarat, seperti nilanya tidak berubah, mudah disimpan, tahan lama, dan mempunyai mutu yang sama. Dari syarat-syarat tadi, benda yang  dianggap memenuhi syarat sebagai uang  adalah logam. Dikarenakan oleh kemampuan atau sifat logam yang lebih tahan lama, mutu yang yang sama dan nilainya tidak mengalami perubahan dari masa ke masa.
        Material logam yang ideal untuk uang adalah emas dan perak. Jenis logam ini sudah dipakai sebagai bahan untuk pembuatan uang oleh banyak negara, diantaranya Cina. Cina sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang cukup banyak, tidak saja memanfaatkan jenis emas dan perak sebagai bahan untuk pembuatan uang, namun juga menggunakan perunggu, tembaga, dan besi.

II. Mata Uang di Situs Trowulan
Dalam setiap penelitian di situs Trowulan, para peneliti sering kali menemukan mata uang Cina atau sering disebut dengan kepeng.  Inventaris dari Museum Trowulan memberikan data sebanyak 1.356 keping. Terdiri dari 1.171 keping utuh, 185 pecahan.
Mata uang logam Cina atau kepeng banyak sekali ditemukan di situs arkeologi, tepatnya di situs Trowulan yang pada ahli menduga sebagai bekas Ibu Kota Kerajaan Majapahit. Trowulan terletak 59 km di sebelah barat daya Surabaya, Jawa Timur. Secara geografis, Trowulan terletak pada kawasan strategsi, yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Kali Brantas, sebelah Barat berbatasan dengan Kali Gunting, sebelah Selatan berbatasan dengan gunung Anjasmoro, gunung Welirang dan Gunung Arjuna, dan di sebelah Timur  berbatasan dengan Kali Brangkal.
 Kehadiran mata uang logam Cina di situs Trowulan adalah hal yang sangat penting dan dapat dijadikan sebagai indikator yang tepat mengenai keadaan perekonomian kerajaan Majapahit pada masa lalu. Mata uang logam juga dapat di anggap sebagai artefak bertanggal mutlak karena memuat nama raja atau penguasa dan angka tahun terbitnya [3].
         Trowulan yang diindikasikan sebagai bekas Ibu Kota Kerajaan Majapahit sudah banyak diteliti oleh ahli-ahli arkeologi. Penelitian pertama, dilakukan oleh Wardenaar, kemudian dilanjutkan dengan Kern, Poerbatjaraka, dan Maclaine Pont. Dalam penelitan yang dilakukan telah banyak hal yang bisa ditemukan, diantaranya waduk dan kanal Mapajahit oleh Karina  Arifin (1983), sumur Trowulan oleh Gunawan (1985), pipisan dari situs Trowulan oleh Yusmaini E. Joesman (1985), dan keramik dari situs Kubur Panggung oleh Widiati (1986). Sampai saat ini, penelitian tentang kekayaan tinggalan arkeologi di Trowulan masih dilanjutkan. Bahkan banyak pula, mahasiswa-mahasiswa arkeologi yang melakukan penelitian atau ekskavasi di situs Trowullan. Sehingga, dengan intensifnya penelitian di  situs Trowulan dapat di hasilkan sebuah gambaran mengenai kejayaan Majapahit  pada masa lalu.
Dalam mempermudah penyebutan dari bagian-bagian mata uang dalam pengukurannya. Mata uang logam berdasarkan hiasannya dapat dibedakan atas 2 bidang, yaitu bidang muka (mien), dan bagian belakang (pei). Bagian yag lain adalah lubang (hao) dan tepian disekeliling mata uang logam [4]. Bidang muka biasanya dihiasi dengan lukisan penting, legenda atau tulisan-tulisan, sehingga bidang ini tampak lebih menyolok dan mudah di lihat.  Pada bagian muka ini, juga terdapat keterangan termasuk lukisan orang penting, senjata, tropi, cabang-cabang pohon dan pengambaran legenda atau inskripsi [5]. Sedangkan pada bagian belakang, biasanya dicantumkan nama tempat cetak, nilai nominal atau pertanggalan.

III.    Perekonomian Majapahit
          Majapahit dalam sejarah kerajaan Hindu-Budha di Indonesia, yang pernah berkuasa di Jawa Timur sekitar abad ke-13 sampai 15 M. Majaphit merupakan kerajaan Hindu terakhir yang dalam kurun waktu dari abad ke-13 sampai 15 telah mengalami masa pertumbuhan, perkembangan, masa puncak  dan masa kemunduranyya.  
     Kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia, khususnya kerajaan pada masa klasik (4-15 Masehi) mempunyai mata pencaharian pokok dari bercocok tanam. Dan sektor perekonomian tersebut masih menjadi tulang punggung kerajan klasik sampai abad ke-15 [6]. Dari prasasti, berita asing dan naskah sudah jelas menjelaskan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia di wilayah pedalaman menyandang ciri sebagai kerajan aggraris, sedangkan wilayah yang terletak ditepi pantai lazim bermata pencaharian berdagang atau disebut dengan kerjaan maritim [7].
        Dari sumber sejarah yang ada, dapat diketahui bahwa perekonomian Majapahit pada dasarnya ditopang oleh sektor pertanian. Pertanian pada masa Majapahit ditunjang dengan perdagangan, melalui kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa dan dua kota pelabuhan di daerah pedalaman yaitu Canggu dan Hujung Galuh yang letaknya     di tepi sungai Brantas [8].
          Keletakan geografis Majapahit sendiri, berada di antara Samudera Indonesia dan Laut Cina. Dengan letak yang strategis ini, banyak dari pedagang yang singgah untuk menanti saat yang tepat untuk berlayar kembali atau pun sekedar singgah untuk  mengangkut komoditi yang akan dijual di tempat lain [9]Dari temuan-temuan dari peneliti sebelumnya, memperlihatkan banyaknya kanal, waduk-waduk kuna, kolam buatan, yang secara teknis menunjukkan adanya bentuk pengendalian air yang merupakan masalah yang penting bagi Majapahit sebagai negara agggraris. Trowulan sebagai bekas kota Majapahit terletak pada suatu  dataran yang di bagina selatan dibatasi oleh gunung-gunung Anjasmoro, Welirang dan Arjuno, di sebelah barat dibatasi dengan Kali Gunting, sebelah timur  dibatasi dengan Kali Brangkal. Trowulan yang dahulun merupakan kota Majapahit berada pada ujung Kipas Aluvial Jatirejo. Kipas Aluvial Jatirejo yang berpangkal di desa Lebak Jabung pada ketinggian 200 mdpl berakhir di sekitar Trowulan pada ketinggian 25 meter di desa Dinoyo. Dataran tersebut bergelombang pada ketinggian 30 sampai 40 mdpl yang penuh dengan punggung bukit serta lembah yang lebar dan umummnya membujur kea rah utara [10]. Daerah Trowulan yang berada di sistem pegunungan api menjadi hal yang dapat memabahkan keberadaan kerajaan Majapahit sebagai kerajaan aggraris.
     Dalam pertanian, kerajaan Majapahit pada dahulunya, telah melakukan sistem pengendalian air yang dalam hal ini terkait dengan pengendalian irigasi. Irigasi merupakan hal yang fundamental dalam sektor pertanian. Keberadaan Trowulan di sistem pegunungan api dan lembah dapat menjadi faktor pendukung akan keberlangsungan kegiatan pertanian di Majapahit. Lembah-lembah yang  ada dijadikan sebagai areal persawahan, dan pada lembah itu pula mengalir sungai-sungai kecil.
     Irigasi yang  ada di Majaphit, tampaknya berasal dari anak-anak sungai yang membentuk sungai Gunting di selatan, dan Waduk Kumitir dan Temon di bagian tenggara [11]. Air yang berasal yang berasal dari anak-anak sungai dan waduk tersebut kemudian akan dialirkan ke sawah-sawah-kanal. Dalam beberapa prasasti yang berasal dari masa Majapahit memberikan keterangan tentang sawah dan pengelolaannya, yang dalam hal ini berkaitan dengan pejabat-pejabat yang mengelola irigasi untuk kepentingan sawah. Para pejabat itu diantaranya adalah “matamwak”  berasal dari kata “tamwak” (tambak, tanggul) yang artinya desa tua yang telah memiliki irigasi. Selain itu, ada pula istilah “hulu air” yang menurut Casparis berarti pejabat pengelola sistem irigasi termasuk pembagian air untuk sawah. Kemudian ada pula istilah “pangulu banu” yang menurut Casparis memiliki arti yang sama dengan “hulu air” atau petugas pengurus irigasi [12].                       
      Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, ditampilkan usaha dalam peningkatan ekonomi  bagi rakyatnya. Usaha-usaha dalam berbagai kegiatan ekonomi dan kebudayaan sangat diperhatikan. Hasil pemungutan pajak dan upeti dimanfaatkan untuk menyelenggarakan kesejahteraan bagi seluruh kerajaan dalam berbagai bidang. Dalam Kakawin Nagarakertagama dan berbagai beberapa buah prasasti yang berasal dari masa pemerintahan raja Hayam Wuruk, memberikan keterangan tentang hal itu [13].
          Setelah kita membicarakan tentang pertanian Majapahit, hal yang menjadi penting pula dalam perekonomian Majapahit adalah perdagangan. Perdagangan merupakan sektor yang menunjang sektor perdagangan di Majapahit. Pasar dalam sektor perdagangan merupakan komponen yang penting demi terciptanya suatu trasaski barang. Dalam kitab Negarakertagama disebutkan bahwa di ibukota kerajaan ada sebuah pasar yang besar. Letaknya berada di lingkungan keraton dan tidak jauh dari pintu gerbang utara dan tempat kediaman keluarga istana [14].
           Sebelum melangkah lebih jauh, kita telusuri kembali hubungan dagang Indonesia dengan bangsa asing. menurut J. C van Leur dan  O. W Wolters berpendapat bahwa hubungan dagang yang mula-mula terjadi adalah antara bangsa Indonesia dengan India baru dengan bangsa Cina. Namun,  saying belum pernah ada sumber tertulis tentang hubungan dagang dengan India. Hal ini, mungkin dikarenakan kebiasan di India yang tidak terbiasa membuat catatan-catatan resmi mengenai kejadian penting dalam sautu kurun waktu, sepeti halnya Cina [15].
      Dalam kitab Negrakertagama dan sejumlah prasasti, menyebutkan selain India, terdapat pula pedagang-pedagang asing lainnya, yaitu Camboja atau Khmer (Kamboja), Cina, Yawana (Annam), Champa, Kartanaka (India Selatan), Goda (Gaur), Syangka (Srilangka), Marinci? dan Camerin?. Para pedagan asing itulah yang datang ke Majaphit dengan kapal dagang mereka [16].
        Secara umum, barang  dagangan yang biasa diperjual belikan antara lain adalah merica, kumukus (rempah-rempah), kapulaga, kapas, labu, kasumba, kelapa, campaluk, gadung, kacang, hano, dan tirisan gading. Selain itu masih ada jenis-jenis buahan yang diperjualbelikan pada masa Majapahit. Jenis buahan tesebut adalah kapundung, duwet, jambu, durian, manggis, ambawang, pisang, kacapi, limo, tal, salak, kawista, dam sentul. Dalam prasasti dan naskah disebutkan pula barang dagangan yang diperjual belikan seperti bata, periuk, besi, garam, gula, tuak, minyak, kesumba, kelapa, gambir hitam, rabung, asam muda, wijen, tampah dulang, kukusan, tali, arang, lampu wdihan dan ken atau kain, segala jenis hasil ladang, hasil sawah, hasil hutan, hasil sungai, hasil lautan, dan hasil lubang [17]. Juga jenis hewan peliharaan seperti kerbau, sapi, kambing, babi, anjing, anak babi, ayan dan itik [18].
           Dalam perdagangan, sungai menjadi hal yang sangat penting, Pada masa kerajaan Mapajahit, sungai Brantas merupakan sungai yang sangat berpenagruh dalam perdagangan waktu itu.  Selain itu, keberadaan pelabuhan juga ambil andil dalam sebuah perdagangan, tak ketinggalan pula pelabuhan Hujung Galuh yang berada di daerah pedalaman. Dalam prasati Trawulan I (Canggu) yang dikeluarkan oleh Hayam Wuruk, kita dapat melihat adanya kesibukan lalu lintas pelayaran di sungai Brantas atau Bengawan Solo. Prasasti tersebut mengatur tempay-tempat penyebrangan yang dijumpai disepanjang sungai Brantas. Bahkan, tidak tangung-tangung, jumlah tempat penyebrangan yang ada dalam prasasti tersebut tidak kurang dari 77 desa. Tempat-tempat penyebrangan tersebut, sangat berperan dalam perekonomian kerajaan, sehingga pihak raja mengatur keberadaanya dalam suatu keputusan atau sering disebut dengan prasasti. Dengan menggunakan sarana perairan, barang dagangan di angkut dengan menggunakan perahu. Untuk daerah pedalaman, barang dagangan diangkut dengan menggunakan angkutan darat. Dalam prasasti dan naskah disebutkan beberpa angkutan darat yang digunakan, diantaranya pedati, pikulan, kerangjang, atau bantuan hewan-hewan kuda [19]. Dari keterangan tersebut jelas bahwa Majapahit dapat di akses baik itu melalui jalan darat ataupun dengan jalur perairan.

IV.       Mata Uang Cina
      Mata uang Cina adalah  temuan yang sangat banyak ditemukan saat penggalian arekologi di situs Trowulan. Terlihat bahwa, pada masa Majapahit telah ada alat ukur dalam perdagangan. Sebelum masuknya uang Cina ke Indonesia, kerajaan Majapahit telah mengenal uang dalam satuan berat yaitu su (suwarna); ma (masa); dank u (kupang). Hanya kita tidak mengetahui pasti berapa berat satu sawarna itu. Jenis mata di atas terbuat dari emas, perak, dan besi. Di samping itu, ada pula mata uang lainnya yaitu pisis atau dharana , namun sama-sama tidak memiliki nilai yang pasti. Dalam berita Cina (dinasti Sung) disebutkan pula bahwa orang Jawa, menggunakan potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang [20].
      Dalam sebuah perdagangan, mekanisme harga menjadi hal yang sangat penting. Ini terlihat pada masa Majapahit, raja ikut campur dalam perekonomian terutama masalah pajak produksi dan perdagangan, denda, dan mengatur jalannya perdagangan.
          Pada masa kerajaan Majapahit, mata uang Cina atau kepeng adalah satuan mata uang yang paling banyak digunakan di dalam transaksi perdagangan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa data-data dari penelilitan arkeologi baik itu survey maupun ekskavasi di situs Trowulan dan juga bertita Cina Ying-Yai-Sheng-lun tahun 1462 M menyebutkan bahwa penduduk Majapahit memakai mata uang kepeng sebagai alat pembayaran [21].
           



Daftar Pustaka

Wanny Rahardjo Wahyudi. 2003. Pengendalian Air di Kota Majapahit. Depok: Pusat Pengembangan Penelitian, FIB UI
Ninie Soesanti Yulianto, Irmawati Marwoto Johan. 1996. Kerajaan Aggraris: Perkembangan Masa Hindu Budha Di Jawa. Depok: Proyek DIP-OPF 1996/96 FS UI.
Edhie Wurjanto. 1994. Perdagangan Masa Majapahit : Telaah Data Sumber Prasasti dan Naskah. Depok: Proyek DIP-OPF 1993/94 FS UI.
Ninie Soesanti Y, Irmawati M Johan. 1993. Mata Uang Kuna di Indonesia: Sebuah Tinjauan Sejarah Ekonomi Abad 9-17 Masehi. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan Dan Budaya, Lembaga Penelitian UI
Amelia. 1986. Mata Uang Logam Cina dari Situs Trowulan , dalam skripsi S1 Arkeologi. Depok. FS UI







[1] Numismatik berasal dari bahasa Yunani “Nomisma”, dan bahasa Latin “Numisma” yang berarti koin atau mata uang.
Pengertian dari  http://id.termwiki.com/DE:numismatics: Numismatik adalah studi tentang koin dalam semua aspek, yaitu sebagai bentuk negara yang disetujui pembayaran, sebagai artefak menyampaikan informasi tentang bahasa, tulisan dan metalurgi, dan sebagai karya seni.
[2] Uang adalah benda-benda yang disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantara untuk mengadakan tukar menukar atau perdagangan (lihat lengkapnya Sadono, Sukrino. 1981. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Jakarta: Bina Grafika).
[3] Mundarjito, dkk. 1978. Laporan Penelitian Arkeologi Banten 1976. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala Peninggalan Nasional, hlm 47.
[4] Howard, Hansford. 1954. A Glossary of Chinese Art and Archeology. London: The Chinese Society, hlm 13.
[5] Martha, Joukowsky. 1980. A Complete Manual of Field Archaeology. New Jersey: Prentice-Hall, hlm 236-9
[6] Ninie Soesanti Y dan Iramayanti Marwoto J. 1996. Kerjaan Aggraris: Perkembangan pada Masa Hindu Budha di Jawa. Depok: Fakultas Sastra UI, hlm 4
[7] Ninie Soesanti Y dan Iramayanti Marwoto J, op cit, hlm 4
[8] Edhie, Wurjantoro. 1993. Perdagangan Masa Majapahit, Telaah Data Sumber Prasasti dan Naskah. Depok: DIP OPFSUI, hlm 1
[9] Satari, Soejatmi. 1985. “Kehidupan Ekonomi di Jawa Timur abad XIII-XV”, dalam Rapat Hasil Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi II, Cisarua, 5-10 Maret 1985. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
[10] Wanny Rahardjo W. 2003. Pengendalian Air di Kota Majapahit. Depok: Pusat Pengembangan Penelitian FIB UI, hlm 4
[11] Wanny Rahardjo W. ibid, hlm 23
[12] Wanny Rahardjo, ibid hlm 25-26
[13] Marwati D.P, Nugroho N. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm 437-438
[14] Edhie, Wurjantoro, ibid, hlm 2
[15] Ninie Soesanti Y, Irmawati M Johan. 1993. Mata Uang Kuna di Indonesia, Sebuah Tinjauan Sejarah Ekonomi Abad 9-17 Masehi. Depok: Pusat Penelitian  Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, hlm 6-7
[16] Edhie, Wurjantoro, ibid, hlm 3
[17] Mungkin yang dimaksud dengan hasil dari rwang  (jawa: Rongn) atau lubang antara lain: ikan lele, belut, ikan gabus, dan kepiting.
[18] Edhie, Wurjanto, ibid, hlm 7
[19]  Dalam prasasti Surodakan berbunyi: salwirning parahu, jorong, ketepak, kunjalan. Menurut  Zoetmulder istilsh tersebut mengarah pada pengertian perahu.
[20] Mata Uang Kuno, 13-15
[21] Titi Sutri. N. 1992.Pasar Study Pendahuluan Kegiatan Ekonomi Masyarakat Desa abad ke-9 sampai 15 Masehi dalam Makalah PIA VI.

Candi Padang Roco, Dharmasraya


Candi Padang Roco
Oleh: Dodi Chandra, Arkeologi UI


Situs Candi Padang Roco terletak di Jorong Sungai Langsek, Kenagarian Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya. Secara geografis situs ini terletak pada sebuah dataran pada ketinggian sekitar 160 mdpl dan terletak pada posisi 1° LS dan 109° 44' BT. [1] Lokasi candi sendiri berada di sebuah pulau yang dipisahkan oleh sebuah sungai dengan nama Sungai Dareh. Hal yang mempersulit akses ke lokasi candi adalah transportasi dan yang kurang memadai karena hanya mengandalkan rakit untuk memobilisasi masyarakat. 

Foto: Transportasi ke Candi Padang Roco
Sumber: Koleksi Pribadi: 2013

Wilayah Dharmasraya pada dahulunya pernah menjadi pusat pemerintahan dan ibukota Kerajaan Malayu mulai tahun 1286 sampai dengan tahun 1347 M telah diakui oleh para sarjana sejarah dan arkeologi. Daerah Sungai Langsek sendiri merupakan lokasi ditemukannya lapik arca Amoghapasa yang dikirim oleh Raja Krtanegara ke Tanah Malayu.     Candi Padang Roco merupakan candi bernafaskan agama Buddha. Keberadaan Candi Padang Roco merupakan salah satu bukti bahwa pada dahulunya wilayah pernah dijadikan sebagai pusat pemerintahan, sehingga perlu dibuat candi-candi sebagai sarana ibadah raja, keluarga dan rakyatnya. 
Situs Candi Padangroco memiliki tinggalan berupak 4 buah candi, yaitu Candi Padangroco I, II, III, IV. Candi Padang Roco I merupakan Candi Induk dengan ukuran 21 m X 21 m dengan ketinggian struktur bata sekitar 90 cm dan pada bagian tengah sekitar 3 m. Bangunan induk ini mempunyai tangga masuk pada keempat sisinya dengan orinetasi baratdaya-timurlaut. 
  


Foto: Candi Padang Roco I
Sumber: Koleksi Pribadi: 2013

Candi Padangroco II merupakan candi yang terbuat  dari konstruksi susunan bata, berdenah bujur sangakr, dengan ukuran 4,40 x 4,40 m. Tinggi bangunan yang masih tersisa sekarang 1,28 cm. Pintu masuk dan tangga yang menjadi arah hadap terletak di sisi barat sehingga, bangunan candi tersebut beroreintasi ke baratdaya-timurlaut.


Foto: Candi Padang Roco II
Sumber: Koleksi Pribadi


Candi Padangroco III merupakan bangunan dengan struktur bata. Memiliki denah bujur sangkar terdiri dari 3 undakan. Undakan pertama terletak paling atas berukurran 2x2 m, dengan tinggi bangunan yang masih tersisa di bagian selatan, yang terdiri dari 7 lapis bata. Pada bagian baratdaya candi terdapat sebuah kolam, yang mungkin dulunya merupkan tempat mencuci kaki sebelum masuk ke candi.  Sedangkan Candi Padangroco IV masih berupa reruntuhan bata di sudut belakang Candi Padangroco II.


Foto: Candi Padang Roco III
Sumber: Koleksi Pribadi: 2013
















[1] Istiawan, Budi. Budi Utomo, Bambang. 2011. Menguak Tabir Dharmasraya. Batusangkar: Bp3 Batusangkar, hlm 20