Tuesday 5 March 2013

Pengaruh Islam terhadap Sastra Klasik Nusantara


Pengaruh Islam terhadap Sastra Klasik Nusantara
Oleh: Dodi Chandra, mahasiswa Arkeologi UI

Masuknya Islam ke Indonesia merupakan proses akulturasi penduduk pribumi dengan para pedagang yang membawa ajaran Islam. Islam yang diterima oleh masyarakat tidak hanya dalam konteks agama saja, namun  unsur pendukung yang dibawa oleh para pedagang seperti: bahasa Arab dengan aksaranya, kesusteraan serta adat-istiadat tanah asalnya. Pada abad 14 dan 15 M, ketika penyebaran agama Islam sedang berlangsung, bahasa pendukung budaya Islam di Nusantara adalah bahasa Melayu. Sehingga,  tidak heran bahasa Melayu menjadi lingua franca di Nusantara. Kita dapat lihat pada saat awal aksara Arab sudah  diadopsi oleh bahasa Melayu dan mungungguli huruf abjad India. Di seluruh kepulauan Nusantara, kata dan ungkapan Melayu  yang ada kaitannya dengan keislaman diterima ke dalam bahasa pribumi.
Bahasa lain yang juga memiliki sastra klasik yang luas tentang agama Islam adalah bahasa Jawa. Pada awal penyebarannya, ajaran ditransfer secara lisan dan kemudian ditulis dalam dalam aksara Jawa Kuno. Saat  ini, bagi ulama pengetahuan tulisan dan bahasa Arab merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan dalam penyebaran agama Islam. Sehingga,  lambat-laun aksara Jawa Kuno tersisih oleh aksara Arab sebagai wahana bahasa Jawa bagi teks-teks keagamaan dan juga dalam bahasa pribumi.
Pada Islam masuk ke Nusantara, bahasa-bahasa yang ada di Nusantara sudah memiliki kemapanan dalam budaya tulis. Pada sastra Melayu dapat kita lihat seperti  teks Melayu yang berasal dari abad ke-16 seperti: Hikayat Sri Rama, Sang Boma, dan cerita-cerita Panji. Ini merupakan bukti bahwa materi sastra tertulis sudah mencapai taraf yang tinggi. Sedangkan, pada sastra Jawa masih dapat dilihat dari sastra Jawa pra-Islamnya yang masih terpelihara oleh keberadaan Bali yang sampai saat ini masih mempertahankan agama Hindu.
Sudah dikemukakan sebelumnya bahwa ketika masyarakat menerima agama Islam seluruh kompleks kebudayaannya turut pula berakulturasi dengan budaya pribumi. Pertemuan dua kebudaayan akan menghasilkan berbagai perubahan dan melahirkan unsur-unsur baru dalam kesusteraan, bahasa serta perilaku sosial. Apabila kita lihat tulisan yang sampai pada kita saat ini, dapat dilihat adanya dua kelompok yang dipengaruhi Islam yaitu sastra yang mengemukakan ajaran-ajaran agaman dan yang secara tidak langsung berkaitan dengan Islam. Naskah-naskah yang berisi ajaran Islam ada bermacam-macam. Naskah yang tertua ialah adalah tulisan buda atau gunung yang berisi informasi tentang bentuk agama Islam yang dianut masyarakat pada awal agama Islam di Indonesia. Dalam bahasa Melayu kita memiliki tulisan-tulisan seperti: Ar-Raniri, Hamzah Fansuri, dan lain-lain yang berisi ajaran fiqih, tauhid, tasawuf, tanya jawab, puisi atau prosa.
Bahasa Arab menjadi bahasa wajib dipelajari ketika seseorang mempelajari agama Islam. Ajaran Islam yang terdapat di Al-Qur’an dan Hadist menuntut seseorang untuk belajari dan memahami bahasa  Arab. Karangan berbahasa Arab oleh pribumi merupakan bagian khazanah naskah yang diwariskan kepada kita. Karya terjemahan Al-Qur’an bahasa Melayu yang pertama dibuat oleh Abdul Rauf pada abad ke-17. Selain itu, karya Al-Ghazali pun diterjamahkan oleh Abdal Samad pada abad ke-18.
Selain karya berbahasa Arab, pribumi juga menghasilkan karya mengenai ajaran Islam dalam bahasa daerah. Pada masa konsolidasi Islam, mulai ditanamkan nilai-nilai Islam melaui tulisan-tulisan yang kemudian dapat dipahami oleh khalayak ramai. Salah satu contoh karya dalam bahasa daerah itu adalah sekolompok sastra Jawa yang disebut dengan suluk. Suluk merupakan puisi keagamaan yang khusus mengungkapkan pemikiran agama dengan metode mistisme, kadang berbentuk tanya-jawab dan juga naratif. Sastra didaktik merupakan bagian penting dari budaya tradisional Indonesia. Karya-karya yang memberikan pentunjuk tentang cara hidup yang diajarkan oleh Islam. Selain itu, secara tidak langsung juga mengajarkan nilai-nilai yang dihargai dalam Islam. Ini terjadi pada masa awal penduduk pribumi yang masih dekat dengan agama lama, namun mereka ingin mengikuti pola dari agama yang baru diterima. Dalam kondisi ini, tokoh-tokoh teladan sangat diperlukan untuk memenuhi harapan mereka yang masih labil, seperti: Amir Hamzah, Muhammad Hanafiyah, Samaun, dan Hasan Husain yang menjadi tokoh teladan dalam rangka mempertahankan dan menyebarkan Islam, kesetiaan dan bakti terhadap nabi Muhammad S.AW.
Pada zaman Islam, di dalam sastra Jawa muncul cerita-cerita kepahlawanan yang dibumbui dengan dialog keagamaan Islam yang cenderung mistik, seperti Hikayat Sultan Ibrahim Ibnu Adham yang meninggalkan kerajaannya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Jenis ini sedikit menyimpang dari wiracarita gaya lama yang selalu terpusat pada kerajaan. Menurut para pakar, jenis ini dimungkinkan karena asas demokrasi dalam Islam yang memberikan kebebasan kepada pengarang tanpa adanya intervensi dari kungkungan monarki dan adat sosial lama.
Saat ini, terdapat suatu kelompok cerita keagamaan tentang Nabi Muhammad yang sampai saat ini masih bertahan, antara lain Hikayat Nabi Bercukur (Melayu) atau Nabi Paras (Jawa), Nabi Mikrad, dan Maulud Nabi.
Penjelasan di atas memberikan gambaran pengaruh Islam yang merasuki kehidupan sastra, meskipun bentuk dan isi yang lama tetap bertahan, asalkan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Salah satu unsur pengaruh yang perlu dikemukakan di sini adalah aksara. Peninggalan naskah Islam Melayu bertuliskan Arab tidak terdapat lagi, namun naskah Melayu yang masih ada dan tertua berasal dari abad ke-16 yang ditulis dalam aksara Arab. Apapun aksara yang sebelumnya dipakai, secara sempurna digantikan oleh aksara Arab yang telah diadaptasikan dengan baik pada sistem bunyi Melayu. Dengan menyebarnya bahasa Melayu ke sebahagian besar Nusantara seperti: Ternate, Tidore, Sumbawa, Bima,dan Ambon , berimplikasi pula pada penyebaran aksara  Arab di Nusantara. 
Keadaan dalam sastra Jawa sedikit berbeda. Tulisan Arab telah masuk pada saat yang dini, tapi penggunaan aksara Jawa-India tetap masih digunakan sampai abad ke-20. Keadaan ini berdampak pada lontar beraksara Arab yang dapat diakatan tidak ada. Pada umumnya penggunaan aksara Jawa-Arab dan Jawa-India terbagi menurut pokok teks yang ditulis. Pertama untuk teks keagamaan dan kedua untuk teks sekuler. Perlu diingat disini bahwa penggunaan abjad atau aksara Arab tidak terbatas pada kedua  bahasa di atas, namun meluas ke bahasa daerah yang lain, misalnya bahasa Aceh, Minang, Sunda, Madura, dll dimana ada kelompok budaya yang memeluk Islam.
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Islam dapat memberikan sebuah jalan dalam pengembangan sastra di Nusatara. Sehingga dengan menyebarnya Islam, berimplikasi pula pada kemajuan sastra di Nusantara.

No comments: