Sunday 5 May 2013

Sekilas Tentang Jam Gadang Bukittinggi

Sekilas Tentang Jam Gadang Bukittinggi
Oleh: Dodi Chandra
 
Foto: Jam Gadang (sumber: rankpiliang.blogspot.com)
Nama Jam Gadang mungkin tak asing bagi orang Minangkabau pada umumnya. Yah, warisan kolonial Belanda ini sudah menjadi kebanggaan dan tour obeject  baik bagi masyarakat Sumatera Barat dan juga turis Manca Negara. Jam Gadang secara kolektif sudah terdaftar di BP3 Batusangkar sebagai Cagar Budaya. Cagar Budaya menurut Undang-undang no. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan atau di air yang perlu dilestarikan keberadaanya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Keletakan situs Jam Gadang secara administratif berada di jalan Istana Kelurahan Bukit Cangang, Kecamatan Guguk Panjang, Kota Bukittinggi. Jam Gadang pertama kali dibangun pada tahun 1926 dengan seorang arsitek kelahiran Bukittingi yang bernama Yazid Sutan Gigi Ameh. Jam yang merupakan hadiah Ratu Belanda kepada Controleur Oud Agam (sekretaris kota), HR Rookmaker, ini dibangun di “bukit tertinggi” (Bukik Nan Tatinggi) dan menghadap ke arah Gunung Merapi. Jam Besar ini didatangkan dari Rotterdam, Belanda, melalui Teluk Bayur (1926). Jam Gadang sebenarnya adalah buatan German yang dapat dilihat dari label kertas yang tertempel dilemari pengaman komponen jam yang berbunyi: “Abs. B. Vortmann, Turmuhrenfabrik I. W. Germany”. Mesin Jam Gadang hanya ada dua di dunia, satu di lagi tak lain adalah BigBen di London. 

Arstiketural Bangunan Jam Gadang sangat kental dengan arsitektural Belanda. Terlihat dari bentuk tiang-tiang tebal khas gaya Doric, bentuk jendela dan tangga, dan pola hias bangunannnya. Disisi lain, bentuk klokkentoren, menara jam, demikian Jam Gadang yang disebut dalam literatur Belanda, berbentuk empat persegi dengan jam di masing-masing sisi puncak. Puncak Jam Gadang mengalami tiga kali perubahan. Semula puncak Jam Gadang dibuat setengah lingkaran seperti kubah masjid. Di atasnya dipasang patung ayam jago, menghadap arah timur, yang sedang berkokok. Sengaja dibikin demikian untuk menyindir masyarakat Agam Tuo yang kesiangan, demikian ditulis Zulqayyim dalam buku “Kota Lama KotaBaru: Sejarah Kota-kota di Indonesia”. Di zaman Jepang, puncak Jam Gadang berubah lagi. Sesuai selera Jepang. Maka Jam Gadang di zaman Jepang berbentuk atap bertingkat menyerupai Pagoda. Di masa kemerdekaan, atap itu diganti dengan gonjong rumah adat Minangkabau. 




Foto: Transformasi Atap Jam Gadang (sumber: indonesiapariwisata.blogspot.com)
 
Di masa awal, di sisi kanan dari taman Jam Gadang ini (berhadapan dengan Jam Gadang sisi depan) terdapat Patung Hermes di atas semacam tiang/tonggak dan juga patung harimau. Namun sudah tak terlacak lagi ke mana kedua patung itu dan kapan mereka hilang
Pada masa pemerintahan Belanda,toren atau menara berfungsi sebagai pos pengitaian musuh. Begitu juga dengan Jam Gadang sekrang,  di zaman Belanda, menara Jam Gadang dibangun untuk mengintai gerak-gerik pengikut Imam Bonjol semasa Perang Paderi.
Jika kita melihat angka di Jam Gadang, mungkin terbesit di dalam pikiran kenapa angka empat pada sistem penomoran Romawi harusnya ditulis IV namun pada Jam Gadang, angka empat ditulis IIII?. Beberapa sumber menyebutkan, penomoran itu dimungkinkan karena si pembuat tak terlalu paham dengan sistem angka Romawi atau memang sengaja dibikin demikian agar tak membingungkan jika angka-angka itu menghadap ke luar, bukan menghadap ke arah jam (arah dalam). Kesalahan angka pada jam tidak hanya terjadi pada Jam Gadang, kesahalan tulis seperti itu sering terjadi di belahan dunia manapun, seperti angka 9 yang ditulis VIIII (harusnya IX) atau angka 28 yang ditulis XXIIX (seharusnya XXVIII).
Saat ini, Jam Gadang masih tetap beroperasi. Dentingnya masih bisa didengar setiap jam. Bahkan kini, dari puncaknya juga akan selalu terdengar suara pengawas mengingatkan warga agar tak membuang sampah sembarangan. Bulan puasa, denting jam ini juga berfungsi sebagai penanda imsak dan berbuka puasa.
Prinsip pengelolaan sebuah Cagar Budaya pada Jam Gadang sebagai Dead Monument sudah dapat dikatakan berjalan dengan baik walaupun ada sedikit hal yang perlu diperbaiki.  Fasilitas-fasilitas yang ada di kawasan Jam Gadang sudah memadai. Terlihat pada tempat sampah yang mudah sekali ditemukan di taman sekitar Jam Gadang sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi pengunjung. Selain itu, fasilitas toilet , pos keamanan, pusat informasi, photografer keliling, tempat pakir yang sudah terkelola dengan baik dan yang unik adalah tersedianya jasa “Bendi” yang dapat mengantarkan kita keliling kawasan Jam Gadang.
Sejak pertama Jam Gadang didirikan pada tahun 1926 lingkungan sekitar juga dihidupkan dan dikelola  dengan menambahkan fasilitas penunjang guna mendorong agar kawasan Jam Gadang dapat memberikan efek positif terhadap roda perekonomian masyarakat Bukittinggi pada khususnya. Fasilitas penunjang itu antara lain: terminal bus, bangunan kantor Asisten Residen Afdeeling Padangsche Bovenlanden – kini jadi kompleks Istana Negara Bung Hatta. Di sisi barat, pom bensin, kantor polisi, dan kantor Controleur Oud Agam. Tempat perhentian bendi atau dokar pun disiapkan. Kemudian tak jauh dari perhentian bendi terdapat Loih Galuang serta beberapa loods (los), orang Minangkabau menyebut loih.
Di akhir tulisan saya ini dapat disimpulkan bahwa Jam Gadang adalah Cagar Budaya (Dead Monument) yang merupakan warisan dari pemerintahan Belanda. Terlepas dari warisan pemeritahan Belanda, yang terpenting bagi kita adalah sama menjaga kelestarian dan keterawatan cagar budaya ini serta bersama-sama mendorong generasi muda agar jalan lupa dengan sejarah daerahnya sendiri.


No comments: