Monday 23 September 2013

Mata Uang Cina (Kepeng) Majapahit

MATA UANG CINA (KEPENG)
REKONSTRUKSI SEJARAH EKONOMI MAJAPAHIT
Oleh: Dodi Chandra, Arkeologi UI



Arkeologi adalah ilmu menjadikan benda budaya atau material culture sebagai kajian utamanya. Mengutip pendapat Binford, arkeologi berawal dari benda budaya, kemudian dari bendalah arkeolog mampu merekonstruksi sejarah kebudayaan, menyusun kembali cara-cara hidup masyarakat masa lalu, serta memahami proses perubahan budaya. Karena benda sebagai fokus kajiannya, maka arkeologi itu ada karena adanya benda itu sendiri. Budaya meteri lahir dari sebuah tingkah laku yang dibuat oleh pemangku budayanya, maka arkeologi sebenarnya bicara tentang manusia yang berada dibalik benda.
 Salah satu dari kajian arkeologi adalah mata uang. Dalam kajian mata uang ini, arkeologi mengambil pendekatan dari Numismatik [1]. Dalam penelitian arkeologi, studi mengenai numismatik khususnya mata uang logam memegang peranan yang penting karena dengan adanya hiasan-hiasan atau tulisan yang tertera pada ke dua sisinya. Mata uang logam dikenal juga sebagai benda tunggal yang dapat berdiri sendiri dan bersifat spesifik karena dapat memberikan informasi mengenai dimensi waktu, dimensi tempat asal pembuatan dan tempat penemuan, dan dimensi bentuk yang terdiri dari atribut bentuk, ukuran, gaya, dan teknologi dari mata uang logam pada masa itu. Sebenarnya, secara konstektual informasi waktu yang diperoleh dari temuan mata uang logam bermamfaat bagi pertarikhan (dating) termuan serta hubungan antar temuan, situs atau bagian-bagian situs secara kronologi horizontal  yang dapat menjelaskan arah perluasan kota, dan pertarikhan lapisan budayanya atas dasar stratigrafi atau vertikal kronologi.
Keberadaan uang tidak terlepas dari dari kegiatan perdagangan. Dalam sejarah kepurbakalaan Indonesia, perdagangan yang pertama kali dilakukan oleh manusia adalah dalam bentuk perdagangan barter. Perdagangan barter merupakan bentuk perdagangan tukar menukar barang. Dalam perkembangannya, perdagangan berter memiliki kendalam yaitu pertukaran barang hanya akan terjadi apabila kedua belah pihak memiliki barang yang sama-sama mereka inginkan dan juga kesulitan dalam memberikan nilai harga pada suatu barang.
       Kesulitan-kesulitan di atas, kemudian ditanggulangi oleh  manusia dengan cara membuat suatu alat perantara dalam kegiatan tukar menukar, yang kemudian memunculkan apa yang kita sebut dengan uang [2]. Uang diciptakan sebagai alat untuk mempermudah terjadinya transaksi jual beli. Sebagai satuan dalam perdagangan, uang harus memenuhi syarat-syarat, seperti nilanya tidak berubah, mudah disimpan, tahan lama, dan mempunyai mutu yang sama. Dari syarat-syarat tadi, benda yang  dianggap memenuhi syarat sebagai uang  adalah logam. Dikarenakan oleh kemampuan atau sifat logam yang lebih tahan lama, mutu yang yang sama dan nilainya tidak mengalami perubahan dari masa ke masa.
        Material logam yang ideal untuk uang adalah emas dan perak. Jenis logam ini sudah dipakai sebagai bahan untuk pembuatan uang oleh banyak negara, diantaranya Cina. Cina sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang cukup banyak, tidak saja memanfaatkan jenis emas dan perak sebagai bahan untuk pembuatan uang, namun juga menggunakan perunggu, tembaga, dan besi.

II. Mata Uang di Situs Trowulan
Dalam setiap penelitian di situs Trowulan, para peneliti sering kali menemukan mata uang Cina atau sering disebut dengan kepeng.  Inventaris dari Museum Trowulan memberikan data sebanyak 1.356 keping. Terdiri dari 1.171 keping utuh, 185 pecahan.
Mata uang logam Cina atau kepeng banyak sekali ditemukan di situs arkeologi, tepatnya di situs Trowulan yang pada ahli menduga sebagai bekas Ibu Kota Kerajaan Majapahit. Trowulan terletak 59 km di sebelah barat daya Surabaya, Jawa Timur. Secara geografis, Trowulan terletak pada kawasan strategsi, yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Kali Brantas, sebelah Barat berbatasan dengan Kali Gunting, sebelah Selatan berbatasan dengan gunung Anjasmoro, gunung Welirang dan Gunung Arjuna, dan di sebelah Timur  berbatasan dengan Kali Brangkal.
 Kehadiran mata uang logam Cina di situs Trowulan adalah hal yang sangat penting dan dapat dijadikan sebagai indikator yang tepat mengenai keadaan perekonomian kerajaan Majapahit pada masa lalu. Mata uang logam juga dapat di anggap sebagai artefak bertanggal mutlak karena memuat nama raja atau penguasa dan angka tahun terbitnya [3].
         Trowulan yang diindikasikan sebagai bekas Ibu Kota Kerajaan Majapahit sudah banyak diteliti oleh ahli-ahli arkeologi. Penelitian pertama, dilakukan oleh Wardenaar, kemudian dilanjutkan dengan Kern, Poerbatjaraka, dan Maclaine Pont. Dalam penelitan yang dilakukan telah banyak hal yang bisa ditemukan, diantaranya waduk dan kanal Mapajahit oleh Karina  Arifin (1983), sumur Trowulan oleh Gunawan (1985), pipisan dari situs Trowulan oleh Yusmaini E. Joesman (1985), dan keramik dari situs Kubur Panggung oleh Widiati (1986). Sampai saat ini, penelitian tentang kekayaan tinggalan arkeologi di Trowulan masih dilanjutkan. Bahkan banyak pula, mahasiswa-mahasiswa arkeologi yang melakukan penelitian atau ekskavasi di situs Trowullan. Sehingga, dengan intensifnya penelitian di  situs Trowulan dapat di hasilkan sebuah gambaran mengenai kejayaan Majapahit  pada masa lalu.
Dalam mempermudah penyebutan dari bagian-bagian mata uang dalam pengukurannya. Mata uang logam berdasarkan hiasannya dapat dibedakan atas 2 bidang, yaitu bidang muka (mien), dan bagian belakang (pei). Bagian yag lain adalah lubang (hao) dan tepian disekeliling mata uang logam [4]. Bidang muka biasanya dihiasi dengan lukisan penting, legenda atau tulisan-tulisan, sehingga bidang ini tampak lebih menyolok dan mudah di lihat.  Pada bagian muka ini, juga terdapat keterangan termasuk lukisan orang penting, senjata, tropi, cabang-cabang pohon dan pengambaran legenda atau inskripsi [5]. Sedangkan pada bagian belakang, biasanya dicantumkan nama tempat cetak, nilai nominal atau pertanggalan.

III.    Perekonomian Majapahit
          Majapahit dalam sejarah kerajaan Hindu-Budha di Indonesia, yang pernah berkuasa di Jawa Timur sekitar abad ke-13 sampai 15 M. Majaphit merupakan kerajaan Hindu terakhir yang dalam kurun waktu dari abad ke-13 sampai 15 telah mengalami masa pertumbuhan, perkembangan, masa puncak  dan masa kemunduranyya.  
     Kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia, khususnya kerajaan pada masa klasik (4-15 Masehi) mempunyai mata pencaharian pokok dari bercocok tanam. Dan sektor perekonomian tersebut masih menjadi tulang punggung kerajan klasik sampai abad ke-15 [6]. Dari prasasti, berita asing dan naskah sudah jelas menjelaskan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia di wilayah pedalaman menyandang ciri sebagai kerajan aggraris, sedangkan wilayah yang terletak ditepi pantai lazim bermata pencaharian berdagang atau disebut dengan kerjaan maritim [7].
        Dari sumber sejarah yang ada, dapat diketahui bahwa perekonomian Majapahit pada dasarnya ditopang oleh sektor pertanian. Pertanian pada masa Majapahit ditunjang dengan perdagangan, melalui kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa dan dua kota pelabuhan di daerah pedalaman yaitu Canggu dan Hujung Galuh yang letaknya     di tepi sungai Brantas [8].
          Keletakan geografis Majapahit sendiri, berada di antara Samudera Indonesia dan Laut Cina. Dengan letak yang strategis ini, banyak dari pedagang yang singgah untuk menanti saat yang tepat untuk berlayar kembali atau pun sekedar singgah untuk  mengangkut komoditi yang akan dijual di tempat lain [9]Dari temuan-temuan dari peneliti sebelumnya, memperlihatkan banyaknya kanal, waduk-waduk kuna, kolam buatan, yang secara teknis menunjukkan adanya bentuk pengendalian air yang merupakan masalah yang penting bagi Majapahit sebagai negara agggraris. Trowulan sebagai bekas kota Majapahit terletak pada suatu  dataran yang di bagina selatan dibatasi oleh gunung-gunung Anjasmoro, Welirang dan Arjuno, di sebelah barat dibatasi dengan Kali Gunting, sebelah timur  dibatasi dengan Kali Brangkal. Trowulan yang dahulun merupakan kota Majapahit berada pada ujung Kipas Aluvial Jatirejo. Kipas Aluvial Jatirejo yang berpangkal di desa Lebak Jabung pada ketinggian 200 mdpl berakhir di sekitar Trowulan pada ketinggian 25 meter di desa Dinoyo. Dataran tersebut bergelombang pada ketinggian 30 sampai 40 mdpl yang penuh dengan punggung bukit serta lembah yang lebar dan umummnya membujur kea rah utara [10]. Daerah Trowulan yang berada di sistem pegunungan api menjadi hal yang dapat memabahkan keberadaan kerajaan Majapahit sebagai kerajaan aggraris.
     Dalam pertanian, kerajaan Majapahit pada dahulunya, telah melakukan sistem pengendalian air yang dalam hal ini terkait dengan pengendalian irigasi. Irigasi merupakan hal yang fundamental dalam sektor pertanian. Keberadaan Trowulan di sistem pegunungan api dan lembah dapat menjadi faktor pendukung akan keberlangsungan kegiatan pertanian di Majapahit. Lembah-lembah yang  ada dijadikan sebagai areal persawahan, dan pada lembah itu pula mengalir sungai-sungai kecil.
     Irigasi yang  ada di Majaphit, tampaknya berasal dari anak-anak sungai yang membentuk sungai Gunting di selatan, dan Waduk Kumitir dan Temon di bagian tenggara [11]. Air yang berasal yang berasal dari anak-anak sungai dan waduk tersebut kemudian akan dialirkan ke sawah-sawah-kanal. Dalam beberapa prasasti yang berasal dari masa Majapahit memberikan keterangan tentang sawah dan pengelolaannya, yang dalam hal ini berkaitan dengan pejabat-pejabat yang mengelola irigasi untuk kepentingan sawah. Para pejabat itu diantaranya adalah “matamwak”  berasal dari kata “tamwak” (tambak, tanggul) yang artinya desa tua yang telah memiliki irigasi. Selain itu, ada pula istilah “hulu air” yang menurut Casparis berarti pejabat pengelola sistem irigasi termasuk pembagian air untuk sawah. Kemudian ada pula istilah “pangulu banu” yang menurut Casparis memiliki arti yang sama dengan “hulu air” atau petugas pengurus irigasi [12].                       
      Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, ditampilkan usaha dalam peningkatan ekonomi  bagi rakyatnya. Usaha-usaha dalam berbagai kegiatan ekonomi dan kebudayaan sangat diperhatikan. Hasil pemungutan pajak dan upeti dimanfaatkan untuk menyelenggarakan kesejahteraan bagi seluruh kerajaan dalam berbagai bidang. Dalam Kakawin Nagarakertagama dan berbagai beberapa buah prasasti yang berasal dari masa pemerintahan raja Hayam Wuruk, memberikan keterangan tentang hal itu [13].
          Setelah kita membicarakan tentang pertanian Majapahit, hal yang menjadi penting pula dalam perekonomian Majapahit adalah perdagangan. Perdagangan merupakan sektor yang menunjang sektor perdagangan di Majapahit. Pasar dalam sektor perdagangan merupakan komponen yang penting demi terciptanya suatu trasaski barang. Dalam kitab Negarakertagama disebutkan bahwa di ibukota kerajaan ada sebuah pasar yang besar. Letaknya berada di lingkungan keraton dan tidak jauh dari pintu gerbang utara dan tempat kediaman keluarga istana [14].
           Sebelum melangkah lebih jauh, kita telusuri kembali hubungan dagang Indonesia dengan bangsa asing. menurut J. C van Leur dan  O. W Wolters berpendapat bahwa hubungan dagang yang mula-mula terjadi adalah antara bangsa Indonesia dengan India baru dengan bangsa Cina. Namun,  saying belum pernah ada sumber tertulis tentang hubungan dagang dengan India. Hal ini, mungkin dikarenakan kebiasan di India yang tidak terbiasa membuat catatan-catatan resmi mengenai kejadian penting dalam sautu kurun waktu, sepeti halnya Cina [15].
      Dalam kitab Negrakertagama dan sejumlah prasasti, menyebutkan selain India, terdapat pula pedagang-pedagang asing lainnya, yaitu Camboja atau Khmer (Kamboja), Cina, Yawana (Annam), Champa, Kartanaka (India Selatan), Goda (Gaur), Syangka (Srilangka), Marinci? dan Camerin?. Para pedagan asing itulah yang datang ke Majaphit dengan kapal dagang mereka [16].
        Secara umum, barang  dagangan yang biasa diperjual belikan antara lain adalah merica, kumukus (rempah-rempah), kapulaga, kapas, labu, kasumba, kelapa, campaluk, gadung, kacang, hano, dan tirisan gading. Selain itu masih ada jenis-jenis buahan yang diperjualbelikan pada masa Majapahit. Jenis buahan tesebut adalah kapundung, duwet, jambu, durian, manggis, ambawang, pisang, kacapi, limo, tal, salak, kawista, dam sentul. Dalam prasasti dan naskah disebutkan pula barang dagangan yang diperjual belikan seperti bata, periuk, besi, garam, gula, tuak, minyak, kesumba, kelapa, gambir hitam, rabung, asam muda, wijen, tampah dulang, kukusan, tali, arang, lampu wdihan dan ken atau kain, segala jenis hasil ladang, hasil sawah, hasil hutan, hasil sungai, hasil lautan, dan hasil lubang [17]. Juga jenis hewan peliharaan seperti kerbau, sapi, kambing, babi, anjing, anak babi, ayan dan itik [18].
           Dalam perdagangan, sungai menjadi hal yang sangat penting, Pada masa kerajaan Mapajahit, sungai Brantas merupakan sungai yang sangat berpenagruh dalam perdagangan waktu itu.  Selain itu, keberadaan pelabuhan juga ambil andil dalam sebuah perdagangan, tak ketinggalan pula pelabuhan Hujung Galuh yang berada di daerah pedalaman. Dalam prasati Trawulan I (Canggu) yang dikeluarkan oleh Hayam Wuruk, kita dapat melihat adanya kesibukan lalu lintas pelayaran di sungai Brantas atau Bengawan Solo. Prasasti tersebut mengatur tempay-tempat penyebrangan yang dijumpai disepanjang sungai Brantas. Bahkan, tidak tangung-tangung, jumlah tempat penyebrangan yang ada dalam prasasti tersebut tidak kurang dari 77 desa. Tempat-tempat penyebrangan tersebut, sangat berperan dalam perekonomian kerajaan, sehingga pihak raja mengatur keberadaanya dalam suatu keputusan atau sering disebut dengan prasasti. Dengan menggunakan sarana perairan, barang dagangan di angkut dengan menggunakan perahu. Untuk daerah pedalaman, barang dagangan diangkut dengan menggunakan angkutan darat. Dalam prasasti dan naskah disebutkan beberpa angkutan darat yang digunakan, diantaranya pedati, pikulan, kerangjang, atau bantuan hewan-hewan kuda [19]. Dari keterangan tersebut jelas bahwa Majapahit dapat di akses baik itu melalui jalan darat ataupun dengan jalur perairan.

IV.       Mata Uang Cina
      Mata uang Cina adalah  temuan yang sangat banyak ditemukan saat penggalian arekologi di situs Trowulan. Terlihat bahwa, pada masa Majapahit telah ada alat ukur dalam perdagangan. Sebelum masuknya uang Cina ke Indonesia, kerajaan Majapahit telah mengenal uang dalam satuan berat yaitu su (suwarna); ma (masa); dank u (kupang). Hanya kita tidak mengetahui pasti berapa berat satu sawarna itu. Jenis mata di atas terbuat dari emas, perak, dan besi. Di samping itu, ada pula mata uang lainnya yaitu pisis atau dharana , namun sama-sama tidak memiliki nilai yang pasti. Dalam berita Cina (dinasti Sung) disebutkan pula bahwa orang Jawa, menggunakan potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang [20].
      Dalam sebuah perdagangan, mekanisme harga menjadi hal yang sangat penting. Ini terlihat pada masa Majapahit, raja ikut campur dalam perekonomian terutama masalah pajak produksi dan perdagangan, denda, dan mengatur jalannya perdagangan.
          Pada masa kerajaan Majapahit, mata uang Cina atau kepeng adalah satuan mata uang yang paling banyak digunakan di dalam transaksi perdagangan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa data-data dari penelilitan arkeologi baik itu survey maupun ekskavasi di situs Trowulan dan juga bertita Cina Ying-Yai-Sheng-lun tahun 1462 M menyebutkan bahwa penduduk Majapahit memakai mata uang kepeng sebagai alat pembayaran [21].
           



Daftar Pustaka

Wanny Rahardjo Wahyudi. 2003. Pengendalian Air di Kota Majapahit. Depok: Pusat Pengembangan Penelitian, FIB UI
Ninie Soesanti Yulianto, Irmawati Marwoto Johan. 1996. Kerajaan Aggraris: Perkembangan Masa Hindu Budha Di Jawa. Depok: Proyek DIP-OPF 1996/96 FS UI.
Edhie Wurjanto. 1994. Perdagangan Masa Majapahit : Telaah Data Sumber Prasasti dan Naskah. Depok: Proyek DIP-OPF 1993/94 FS UI.
Ninie Soesanti Y, Irmawati M Johan. 1993. Mata Uang Kuna di Indonesia: Sebuah Tinjauan Sejarah Ekonomi Abad 9-17 Masehi. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan Dan Budaya, Lembaga Penelitian UI
Amelia. 1986. Mata Uang Logam Cina dari Situs Trowulan , dalam skripsi S1 Arkeologi. Depok. FS UI







[1] Numismatik berasal dari bahasa Yunani “Nomisma”, dan bahasa Latin “Numisma” yang berarti koin atau mata uang.
Pengertian dari  http://id.termwiki.com/DE:numismatics: Numismatik adalah studi tentang koin dalam semua aspek, yaitu sebagai bentuk negara yang disetujui pembayaran, sebagai artefak menyampaikan informasi tentang bahasa, tulisan dan metalurgi, dan sebagai karya seni.
[2] Uang adalah benda-benda yang disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantara untuk mengadakan tukar menukar atau perdagangan (lihat lengkapnya Sadono, Sukrino. 1981. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Jakarta: Bina Grafika).
[3] Mundarjito, dkk. 1978. Laporan Penelitian Arkeologi Banten 1976. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala Peninggalan Nasional, hlm 47.
[4] Howard, Hansford. 1954. A Glossary of Chinese Art and Archeology. London: The Chinese Society, hlm 13.
[5] Martha, Joukowsky. 1980. A Complete Manual of Field Archaeology. New Jersey: Prentice-Hall, hlm 236-9
[6] Ninie Soesanti Y dan Iramayanti Marwoto J. 1996. Kerjaan Aggraris: Perkembangan pada Masa Hindu Budha di Jawa. Depok: Fakultas Sastra UI, hlm 4
[7] Ninie Soesanti Y dan Iramayanti Marwoto J, op cit, hlm 4
[8] Edhie, Wurjantoro. 1993. Perdagangan Masa Majapahit, Telaah Data Sumber Prasasti dan Naskah. Depok: DIP OPFSUI, hlm 1
[9] Satari, Soejatmi. 1985. “Kehidupan Ekonomi di Jawa Timur abad XIII-XV”, dalam Rapat Hasil Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi II, Cisarua, 5-10 Maret 1985. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
[10] Wanny Rahardjo W. 2003. Pengendalian Air di Kota Majapahit. Depok: Pusat Pengembangan Penelitian FIB UI, hlm 4
[11] Wanny Rahardjo W. ibid, hlm 23
[12] Wanny Rahardjo, ibid hlm 25-26
[13] Marwati D.P, Nugroho N. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm 437-438
[14] Edhie, Wurjantoro, ibid, hlm 2
[15] Ninie Soesanti Y, Irmawati M Johan. 1993. Mata Uang Kuna di Indonesia, Sebuah Tinjauan Sejarah Ekonomi Abad 9-17 Masehi. Depok: Pusat Penelitian  Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, hlm 6-7
[16] Edhie, Wurjantoro, ibid, hlm 3
[17] Mungkin yang dimaksud dengan hasil dari rwang  (jawa: Rongn) atau lubang antara lain: ikan lele, belut, ikan gabus, dan kepiting.
[18] Edhie, Wurjanto, ibid, hlm 7
[19]  Dalam prasasti Surodakan berbunyi: salwirning parahu, jorong, ketepak, kunjalan. Menurut  Zoetmulder istilsh tersebut mengarah pada pengertian perahu.
[20] Mata Uang Kuno, 13-15
[21] Titi Sutri. N. 1992.Pasar Study Pendahuluan Kegiatan Ekonomi Masyarakat Desa abad ke-9 sampai 15 Masehi dalam Makalah PIA VI.

No comments: